Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Sejarah Muncul serta Perkembangannya
A. Sejarah Munculnya
Ushul fiqh telah ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqhtidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya.Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan.Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat.
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.
Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.
Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan.
Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (w. 204 H). Imam Syafi’i menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafi’i berbicara tentang Al Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma’ dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan bahasan ushul fiqh yang lain.
Syafi’i menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan.
Setelah Syafi’i, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ‘ilat. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.
B. Periodisasi Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Mekkah dan periode Madinah.
Periode al-Khulafaur Rasyidin. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
Periode awal pertumbuhan fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang.
Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i.
Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi.
Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya.
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim.
C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
Periodisassi Pembentukan Hukum Islam:
Pertumbuhan fiqh atau hukum Islam dari awal sampai sekarang dapat dibedakan kepada beberapa periode, diantaranya:
1. Periode Rasulullah SAW
Yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan yang berlangsung selama kurang lebih 22 tahun beberapa bulan, sejak pelantikannya sebagai Rasul Allah pada tahun 610 M sampai wafatnya tahun 632.
2. Periode sahabat
Yaitu periode penjelasan pencerahan dan penyempurnaan yang berlangsung sekitar 90 tahun, sejak wafatnya Rasulullah SAW. Tahun 632 M sampai akhir abad pertama 101 H/ 720 M.
3. Periode Tadwin Kodifikasi
Yaitu periode kodifikasi atau pembukuan dan tampilnya para imam mujtahid. Periode ini dikenal sebagai masa puncak keemasannya yang berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, yakni dari tahun 101-350 H 720-971 M.
4. Periode Taklid
Yaitu periode statis dan kebekuan yang berlangsung sejak pertengahan abad keempat Hijriah yakni sekitar tahun 351 H dan tidak seorangpun yang tahu masa berakhirnya kecuali Allah.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung setelah nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran ushul fiqh pun telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut. Diantaranya adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam merumuskan hukum meskipun belum dirumuskan secara jelas.
Berkaitan dengan hal di atas, pada periode ulama, metode-metode untuk mengistinbat hukum mengalami perkembangan pesat diiringi dengan munculnya beberapa ulama ushul fiqh ternama seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Berangkat dari keragaman metode dalam mengistinbatkan hukum inilah yang menyebabkan perbedaan aliran fiqh dalam beberapa madzhab tersebut.
Abu Hanifah menetapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, setelah itu hadits Nabi, baru kemudian fatwa sahabat. Dan metodenya dalam menerapkan qiyas serta istihsan sangat kental sekali.
Sedangkan Imam Malik lebih cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan tradisi yang ada di Madinah. Beliau termasuk Imam yang paling banyak menggunakan hadits dari pada Abu Hanifah, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya hadits yang beliau temukan.
Selain dua Imam di atas, tampil juga Imam Syafi’i. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan yang sangat luas, didukung dengan pengalamannya yang pernah menimba ilmu dari berbagai ahli fiqh ternama. Hal ini menjadikan beliau mampu meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Kemudian beliau menuangkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang disertai dengan pembahasannya secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian ke dalam sebuah kitab yang terkenal dengan nama “Risalah“.
Risalah ini tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas metodologi ushul fiqh, akan tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para ahli yang datang kemudian untuk berusaha mengikutinya. Atas jasanya ini beliau dinilai pantas disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun metode berfikir tentang hukum Islam, yang selanjutnya populer dengan sebutan “ushul fiqh“. Bahkan ada salah seorang orientalis yang bernama N.J Coulson menjuluki Imam Syafi’i sebagai arsitek ilmu fiqh. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa bukan berarti beliaulah yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, karena jauh sebelumnya seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan dikalangan para Imam mujtahid sudah menemukan dan mengunakan metodologi dalam perumusan fiqh, hanya saja mereka belum sampai menyusun keilmuan ini secara sistematis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai suatu khazanah ilmu yang berdiri sendiri.
Sepeninggal Imam Syafi’i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang. Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i, namun dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci dan mencabangkan pokok pemikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuknya yang sempurna. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengambil sebagian dari pokok-pokok Imam Syafi’i, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian lain itu mereka tambahkan hal-hal yang sudah dasar dari pemikiran para Imam yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafi’i.
Setelah meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh Imam-imam pendahulunya
Sebelum dan sesudah pembukuan ushul fiqh
Ushul fiqh sebelum pembukuan
Penarikan hukum melalui istidlal baru dilakukan generasi sahabat setelah Nabi meninggal, dengan kaidah-kaidah, walaupun tidak mereka jelaskan secara lugas. Kaidah-kaidah tersebut merupakan malakah yang melekat erat dengan mereka, karena kemurnian dan kedalaman pengetahuan/penguasaan bahasa, maqashid syari’ah, asbab al wurud dan asbab al nuzul, serta cara berpikir yang masih bersih. Apalagi mereka dididik secara langsung oleh nabi Saw. dan mengalami masa penurunan wahyu.
Demikian pula generasi tabi’in. Malakah tersebut di atas masih menjadi bagian kehidupan mereka, sehingga belum membutuhkan kaidah dalam bentuk tertulis. Kondisi ini berlanjut hingga masa Syafi’ie, Abad ke 2 Hijriyyah (generasi tabi’ tabi’in).
Pembukuan ushul fiqh
a. Masa Imam Syafi’ie (w. 204 H.)
Semakin meluasnya futuhat mengakibatkan komposisi warga negara menjadi heterogen. Interaksi yang terjadi antar bangsa yang memiliki latar belakang berbeda berpengaruh negatif pada bahasa Arab. Akibatnya, ‘ujmah merajalela, malakah melemah, sehingga pemahaman teks-teks al kitab dan sunnah tidak lagi mengandalkan malakah. Saat itulah kebutuhan penulisan kaidah-kaidah mendesak dilakukan. Hal ini disadari oleh Al Hafiz Abdurrahman bin Mahdy. Beliau meminta Imam Syafi’ie membukukan kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk memahami al kitab dan sunnah. Hasil pembukuan ini dikenal dengan ar Risalah.
b. Abad 3 dan 4 Hijriyyah
Abad ini lebih diwarnai dengan penulisan syarh atas kitab ar Risalah. Syarah atas ar Risalah dikarang antara lain oleh; Abu Bakr al Shairafy (w. 230 H), Hassan bin Muhammad al Qurasy al Umawy (w. 349 H), Al Qaffal al Kabir al Syasy (w. 365 H), Al Hafiz Abu Bakr al Jauzaqy (w. 377 H), Abu Zayd al Jazuly, Yusuf bin Umar, Ibn al Fakihany dan Abu Qasim Isa bin Najy. Tak satupun dari karangan mereka sampai pada masa kita. Beberapa ulama juga mulai menulis tema-tema yang berkaitan dengan ushul fiqh yang belum disinggung Imam Syafi’ie dalam ar Risalah. Seperti Ahmad bin Hambal yang mengarang kitab Tha’at al Rasul dan kitab al Nasikh wa al Mansukh.
c. Awal abad 5 Hijriyyah
Merupakan abad yang sarat dengan penulisan ushul fiqh. Dengan masih eksisnya Mu’tazilah dan Asy’ariyyah, ushul fiqh ditulis dengan dasar yang berbeda. Ulama masa ini antara lain Al Qadly Abu Bakr al Baqillany al Maliky (w. 403H) dengan kitab al Taqrib wa al Irsyad, Al Qadly Abdul Jabbar al Hamadzany al Mu’tazily (w. 415 H) dengan kitab al ‘Ahd dan al ‘Umdah dan Abu al Husain al Bashry al Mu’tazily (w. 437 H) dengan kitab al Mu’tamad , ringkasan syarah al ‘Ahd yang ia tulis terlebih dahulu.
Pertengahan abad 5 Hijriyyah
Tokoh yang terkenal adalah Imam al Haramain (w. 478 H) dengan bukunya al Burhan, al Talkhis dan al Waraqat. Murid beliau, al Ghazaly (w. 505 H) menulis kitab al Mustashfa. Semua ulama ini mengikuti thariqah mutakallimin.
d. Abad 6 Hijriyyah-permulaan abad 7 Hijriyyah
Fakhruddin ar Razy (w. 606) menulis al Mahshul yang ia ringkas al ‘Ahd, al Mu’tamad, al Burhan dan al Mustashfa. Al Amidy juga meringkas empat kitab tersebut dalam kitabnya al Ihkam fi Ushul al Ahkam.
Kemudian, al Mahshul diringkas oleh Tajuddin al Armawy (w. 653 H) dalam kitab al Hashil dan Sirajuddin al Armawy (w. 682 H) dalam kitabnya al Tahshil. Dari kedua kitab ini, al Qarafy mengambil kaidah-kaidah dan beberapa muqaddimah, dan menuliskannya dalam kitab al Tanqihaat. Beliau juga menulis syarh atas kitab al Mahshul, diberi nama Nafais al Ushul fi Syarh al Mahshul.
Perhatian hampir serupa juga diberikan pada kitab al Ihkam. Ibn al Hajib meringkasnya dalam dua ringkasan, al Mukhtashar al kabir atau Muntaha al Suul wa al Amal fi ‘Ilmay al Ushul wa al Jadal dan kitab Mukhtashar al Muntaha.
e. Abad 7 Hijriyyah
Ada tiga kecenderungan penulisan pada abad ini, yaitu meringkas (bahkan seringkali mengarah pada ilghaz), syarh dan tabwiib.
Keterangan di atas berkaitan dengan ushul fiqh yang penulisannya menggunakan metode mutakallimin.
Perjalanan selanjutnya didominasi syarh dan tahsyiyyah serta taqrirat. Hingga akhirnya Al Syaukani (w. 1255 H) menulis kitab Irsyad al Fuhul.
Adapun di abad 19 hingga kini, penulisan ushul fiqh lebih merupakan perubahan dalam penyampaian dengan bahasa yang sesuai dengan zaman semata.
Metode (Thariqah) Penulisan Ushul Fiqh
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
(1) Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma lain.
Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
(2) Metode Fuqaha
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin.
Hal ini terlihat, misalnya, pada perkataan Abu Bakr al Jashash (w. 370 H) pada saat menyatakan suatu kaidah ushul; “Furu (yang diriwayatkan dari) Ashabina menunjukkan kaidah ini”. Demikian pula dengan al Bazdawy (w. 730 H)
Metode ini memiliki ciri khas antara lain;
Kaidah ushul mengikuti (tabi’ah) furu’.
Banyak menyebutkan furu’ dan syawahid.
Kadang, suatu masalah fiqhiyyah memiliki kaidah ushul tersendiri, karena masalah tersebut tidak bisa dimasukkan pada kaidah lain. Atau mereka menambahkan qayd pada kaidah agar tidak terkesan sebagai msalah yang tidak memiliki landasan kaidah ushulnya.
Contoh kitab yang dikarang dengan metode ini; Ushul al Karkhy, karangan Abu al Husain al Karkhy (w. 260 H); Ushul al Jashash, karangan Abu Bakr al Jashash yang ditulis sebagai mukaddimah kitab Ahkam al Qur’an; Ta’sis al Nadzar, karangan Ubaidillah bin Umar al Dabusy (w. 430 H); Kanz al Wushul ila Ma’rifat al Ushul, karangan Fakhr al Islam ‘Aly bin Muhmmd al Bazdawy. Kitab ini disyarahi oleh Abdul ‘Aziz al Bukhary (w. 730 H) dalam kitabnya Kasyf al Asrar.
(3) Metode Mutaakhirin (metode gabungan)
Metode ini menggabungkan dua metode di atas, dimana penulisan dilakukan dengan menggunakan metode mutakallimin pada (hal-hal yang berkaitan dengan) tamhish al adillah disertai penerapan kaidah pada furu’ fiqhiyyah.
Kitab yang dikarang dengan metode ini antara lain;
Badi’ al Nidzam al Jami’ baina ushul al Bazdawy wa al Ihkam, karangan Ibn Sa’aty al Hanafy (w. 694 H)
Tanqih al Ushul dan syarahnya Al Taudlih fi Halli Ghowamidl al Tanqih, karangan Shadr al Syari’ah Ubaidillah bin Mas’ud al Hanafy( w. 747 H)
Jam’ al Jawami’, karangan Taj al Din Abdul Wahab bin Aly al Subky (w. 771 H).
Al Tahrir, karangan al Kamal ibn al Humam al Hanafy (. 861 H) dn syrhny kitab al Taqrir wa al Tahrir karangan Muhammad bin Muhammad bin Amir al Haj (w. 879H).
0 Response to "Ushul Fiqh, Sejarah Muncul serta Perkembangannya"
Posting Komentar