BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
masalah
Menurut
catatan sejarah, filsafat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan
akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI
SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal
dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat
berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan
masa berikutnya.
Disamping
menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama
sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan
agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat
didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi
pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu
positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun
selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka
kembali memiliki makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian filsafat agama
Istilah filsafat bersal dari bahasa
Yunani yang terdiri atas dua kata: philo dan
shophia, philo berarti cinta dalam
arti luas, yakni keingenan dan shopia berarti
hikmat (kebijkan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi, filsafat bererti cinta
kebijakan dan kebenaran (love of wisdom).[1]
Sedangkan pengertian agama itu
sendiri menurut J.G. Frazer berpendapat bahwa agama adalah penyembahan kepada
kekuatan yang lebih agung daripada manusia, yang di anggap mengatur dan
menguasai jalanya alam semesta. Nada yang agak minor dikemukakan oleh Freud,
yang mengangap agama adalah bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali
(the projectiaon of fear or wishful thinking).[2]
Sedangkan menurut Durkheim bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat di
ketahui dan tidak dapat di pikirkan oleh akal manusia sendiri. Tegasnya agama
adalah suatu bagian dari ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dengan
tenaga pikiran saja.[3]
Karl Rahner menguraikan lebih jauh
tentang filsafat agama. Menurutnya, filsafat agama adalah sebuah antropologi
metafisik yang harus bersifat teologi dasar, yaitu manusia sebagai pribadi yang
bebas tidak dapat tidak berhadapan dengan tuhan yang mungkin mewahyukan diri.
Oleh karena itu, Rahner mengatakan bahwa ciri khas filsafat agama adalah keterbukaan
yang siap sedia dan kesediaan yang terbuka bagi teologi. Filsafat agama, demikian
Rahner, tidak dapat memaksa teologi dan tidak dapat menentukan hukumnya. Melainkan
seorang filosof agama melaksanakan apa yang harus di laksanakan oleh seorang
mahluk yang dapat mendengar jika logos tuhan datang kedunia. Rahner kemudian
mempertegas antara wilayah filsafat dan teologi. Filsafat agama tidak dapat
menjangkau tentang fakta wahyu, hanya dengan teologilah fakta wahyu itu dapat
di tangkap dan di mengerti sebab teologi berdasarkan pada logos tou Theou.[4]
Lebih lanjut Rahner menambhkan bahwa
filsafat agama harus menunjukan secara filosofis dimanakah dalam diri manusia
timbul agama, apa nilainya agama semacam itu dan apakah tuhan ada atau tidak.
Filsafat agama yang menanyakan hakikat agama, menurut Rahner, bagaimanapun juga
harus sampai kepada pengenalan Allah
transenden, absolute, dan personal.[5]
Menurut C.D. Mulder, filsafat agama
merupakan bagiyan dari filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan termasuk filsafat
sistematis yang menpelajari kosmos, manusia, dan tuhan. The Liang Gie memasukan
filsafat agama bagiyan dari filsafat khusus. Menurutnya, filsfat terbagi pada
tiga bagiyan. Yaitu filsafat khusus, filsafat sistematis, dan filsafat keilmuan.[6]
Geddes Mac Gregor menekankan
pembahasan filsafat agama harus di bedakan antara hal yang menarik hati dalam
agama dan berfikir tentang agama. Yang pertama adalah aktivitas hati, sedangkan yang kedua adlah aktivitas akal.
Selanjutnya, Gregor mengatakan bahwa pendekatan intlektual terhadap agama tidak
akan memuaskan hati, sementara pendekatan intlektual hanya memasukan akal.[7]
Dalam definisi yang di kemukakan
oleh Gregor terlihat suatu pemilihan antara kegiatan hati dan akal. Daya akal,
menurutnya, daya hati berfungsi untuk memuaskan perasaan penganut agama.
B.
Hubungan
filsafat dan agama
Filsafat
dan agama secara umum merupakan pengetahuan. Jika agama merupakan pengetahuan
yang berasal dari wakyu, filsafat sendiri adalah hasil dari pemikiran manusia. Dasar-dasar agama merupakan pokok-pokok kepercayaan
ataupun konsep tentang ketuhanan, alam, manusia, baik buruk, hidup dan mati,
dunia dan akhirat. Dan lain-lain. Sedangkan filsafat adalah sistem kebenaran
tentang agama sebagai hasil berfikir secara radikal, sistematis dan universal.
Jika
agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir
perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan
filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek
penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat
berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan
sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya
untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin,
keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi
dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan
sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan
makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan
ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap
kebenaran ajaran agama.
Walaupun
hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan agama,
tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan
berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan
keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi
keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang
mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap
rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Filsafat
dan agama mempunyai hubungan yang sangat reflektif dengan manusia, dikarenakan
keduanya mempunyai keterkaitan, keduanya tidak bisa berkembang apabila tidak
ada alat dan tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga
utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan.
Dengan
satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari penganut dan
penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki adalah
pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek
pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana
memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat mungkin terdapat
beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan
kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep filsafat
yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna.
Karena
asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan dan
mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari
rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek
pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi keberadaan itu
sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan
dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara
agama juga memerlukan filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan
perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling
bertolak belakang.
Dalam
sebuah ungkapan ada kalimat yang sangat menarik, yang, “Saya beriman
supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya
tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa dapat
diyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang
kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang
mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai
sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan
kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan
pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi
pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat apresiasi
terhadap ajaran-ajaran agama. Baik agama maupun filsafat pada dasarnya
mempunyai kesamaan dalam tujuan, yakni mencapai kebenaran yang sejati.
Manusia
membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam
doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi
manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia
menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah
akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama
diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan,
kepasrahan dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus
dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.
Substansi
dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi
Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan
menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan dengan
perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama keduanya
merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal terdapat pada
semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan
ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak diterima oleh semua
manusia.
Dengan
demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas
eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud
Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama
yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti
eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian
adalah sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan"
sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih
sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan
makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa
seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima
eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama
berasal dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan
masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa
agama baru? Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa
diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal
merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah
rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.[8]
D. Perbadingan Agama dan Filsafat
Dari
uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan.
Perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi
terletak pada cara menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir,
sedangkan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hubungan dengan hati,
sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Menurut Prof. Nasroen,
S.H, ia mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan kepada
agama. Malahan filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama. Apabila
filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-mata
berdasarkan akal dan pemikiran saja, maka filsafat tidak akan memuat kebenaran
obyektif , karena yang memberikan pandangan dan keputusan hanyalah akal
pikiran. Sedangkan kesanggupan akal pikiran ituterbatas, sehingga filsafat yang
hanya berdasarkan kepada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberikan
kepuasan bagi manusia, terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang gaib. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi,
mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama
menuntut pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan
pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan
Tuhan.
Agama
dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan
kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah
agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama
sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang
pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti
perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang
abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin
ini. Filasafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai hasil dari
berfikir secara radikal, sistematis dan universal. Dasar-dasar agama yang
dipersoalkan dipikirkan menurut logika (teratur dan disiplin) dan bebas.
Di
sisi lain Harun Nasution membandingkan pembahasan filsafat agama dengan
pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan
tersendiri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada
dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi
Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya. Dengan demikian, seorang ahli agama
bisa menyelidiki ajaran agamanya sendiri, demikian juga agama lain, tetapi dia
harus menyadari posisinya pada waktu meneliti agama untuk menghindari banyaknya
unsur subjektif yang sering muncul dalam pekiran ahli agama itu.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
keterangan-keterangan di atas, penyusun dapat menyimpulkan :
1. Filsafat
adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan
alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam
semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan.
Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka,
toleran dan mau melihat dari sisi lain.
2. Agama
adalah kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan, agama juga diartikan dengan
mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia pemeluknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hady Aslam , pengantar filsafat agama, Jakarta : Rajawali Pers, 1986..
Abbas,
K.H. Zainal Arifin, perkembangan pikiran
terhadap Agama, jilid 1
Dan 2, Jakarta: pustaka Al-Husna,
1984.
Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta :
Bulan Bintang, 1983
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak
Thales sampai James, Bandung :
Rosdakarya, 1994.
Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam
tentang Manusia dan Agama, Jakarta :
Bulan Bintang,1978.
Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat
Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat
dan Etika, Jakarta :
Prenada Media, 2003.
Dr. Ya’qub, Hamzah, filsafat Agama Titik Temu Akal dan Wahyu,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1991),
[1]
Dr. Ahmad Tafsir, filsafat umum,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 8.
[2]
Drs. Aslam Hady, pengantar filsafat agama, (Jakarta:Rajawali Pers, 1986), hlm.
6.
[3] Zainal
Arifin.perkembangan perkembangan terhadap
agama.hlm. 52.
[4]
Nico Syukur Dister, filsafat agama
kristiani, (Jakarta: Gunung Mulia,1985) hlm.90.
[5]
Nico Syukur Dister, filsafat agama
kristiani, (Jakarta: Gunung Mulia,1985) hlm.90.
[6]
Aslam Hady, pengantar filsafat agama, Jakarta
: Rajawali Pers, 1986. Hlm. 8.
[7]
Dr. Hamzah Ya’qub, filsafat Agama Titik
Temu Akal dan Wahyu,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 10.
nice, ditunggu kunjungan baliknya di www.aindmutaqind.blogspot.com
BalasHapus