PERUBAHAN SOSIAL

PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan sosial merupakan fenomena kehidupan sosial yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu maupun kelompok masyarakat manapun di dunia ini. Pertanyaan mendasar yang kerap muncul adalah mengapa perubahan itu muncul? Menurut Horton & Hunt (1984: 207) barangkali jawabannya adalah manusia pada dasarnya memiliki sifat bosan. Perubahan sosial merupakan perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial meliputi diantaranya perubahan distribusi kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, tingkat kelahiran penduduk, penurunan kadar rasa kekeluargaan informalitas antar tetangga karena adanya perpindahan orang dari desa ke kota dan perubahan peran suami sebagai atasan yang kemudian menjadi mitra (partner) istri dalam keluarga demokratis dewasa ini (Horton & Hunt 1984: 208).
Di samping itu Auguste Comte mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari statika social dan dinamika sosial. Hingga kini perhatian kita lebih tertuju pada segi statika struktur sosial pada pokok-pokok bahasan seperti kelompok-kelompok, hubungan antarkelompok, institusi-institusi, stratifikasi. Meskipun pembahasan kita terpusat pada aspek statika masyarakat, namun di canes sini kita telah mulai menyentuh masalah perubahan. Dalam kenyataan statika social dan dinamika social memang sukar dipisahkan, meskipun secara analitik kita berusaha melakukannya. Kita telah melihat bahwa stratifikasi social dapat berubah melalui mobilitas sosial; institusi social dapat berubah karena terjadinya perubahan pada institusi lain atau karena terjadinya gerakan sosial. Kita pun telah mulai menyinggung beberapa teori perubahan sosial, seperti teori Marx mengenai perubahan sistem feodal menjadi kapitalis dan kemudian sosialis, teori Weber mengenai munculnya kapitalisme dalam masyarakat feodal, teori Durkheim mengenai perubahan solidaritas mekanik menjadi organik. Sekarang Pawl perhatian kita akan beralih pada segi dinamika masyarakat pada perubahan sosial (Sunarto, 2000: 203).
11.1. Pola Perubahan Social
a. Pola Linear
Etzioni-Halevy dan Etzioni (1973:3-8) mengemukakan bahwa pemikiran para tokoh sosiologi klasik mengenai perubahan sosial dapat digolongkan ke dalam beberapa pola. Pola pertama ialah pola linear; menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat mengikuti suatu pola yang pasti. Contoh yang diberikan Etzioni-Halevy dan Etzioni mengenai pemikiran linear ini ialah karya Comte dan Spencer.
Pemikiran mengenai pola perkembangan linear kita temukan dalam karya Comte (lihat Comte, 1877 dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed., 1973:14-19). Menurut Comte kemajuan progresif peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tak tcrelakkan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama "Hukum Tiga Tahap," Comte mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. Pada tahap pertama yang diberinya nama tahap Teologis dan Militer, Comte melihat bahwa semua hubungan sosial bersifat militer; masyarakat senantiasa bertujuan menundukkan masyarakat lain. Semua konsepsi teoretik dilandaskan pada pemikiran mengenai kekuatan-kekuatan adikodrati. Pengamatan dituntun oleh imajinasi; penelitian tidak dibenarkan.
Tahap kedua, tahap Metafisik dan Yuridis, merupakan tahap antara yang menjembatani masyarakat militer dengan masyarakat industri. Pengamatan masih dikuasai imajinasi tetapi lambat laun semakin merubahnya dan menjadi dasar bagi penelitian.
Pada tahap ketiga dan terakhit, tahap Ilmu Pengetahuan dan Industri, industri mendominasi hubungan sosial dan produksi menjadi tujuan utama masyarakaL Imajinasi telah digeser oleh pengamatan dan konsepsi-konsepsi teoritik telah bersifat positif.
Dari apa yang telah dikemukakan Comte tersebut--perubahan yang pasti, serupa, tak terelakkan, dapat kita lihat bahwa pandangannya mengenai perubahan sosial bersifat unilinear.
b. Pola Unilinier
Pemikiran unilinear kita jumpai pula dalam karya Spencer (lihat Spencer, 1892 dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed., 1973:9-13). Spencer mengemukakan bahwa struktur sosial berkembang secara evolusioner dari struktur yang homogen menjadi heterogen. Perubahan struktur berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Suku yang sederhana bergerak maju secara evolusioner ke arah ukuran lebih besar, keterpaduan, kemajemukan, dan kepastian sehingga terjelma suatu bangsa yang beradab.
Comte dan Spencer berbicara mengenai perubahan yang senantiasa menuju ke arah kemajuan. Namun ada pula pandangan unilinear yang cenderung mengagung-agungkan masa lampau dan melihat bahwa masyarakat berkembang ke arah kemunduran--suatu pandangan yang oleh Wilbert E. Moore (1963) dinamakan "primitivisme."
Pola Siklus
Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda: kadang kala naik ke atas, kadangkala turun ke bawah. Contoh yang dikemukakan Etzioni-Halevy dan Etzioni ialah karya Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto.
Dalam bukunya yang terkenal, The Decline of the West (judul asli: Die Untergang des Abendlandes, 1926, dikutip dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed., 1973:20-25) Oswald Spengler mengemukakan sebagai berikut:
. the great cultures accomplish their majestic wave cycles. "They appear suddenly, swell in splendid lines, flatten again, and vanish ... dan Every culture passes through the age phases of the individual man. Each has its childhood, youth, manhood, and old age.
Kutipan-kutipan di atas mencerminkan pandangannya bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang, jang muncul mendadak, bcrkembang dan kemudian lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan seorang manusia--melcwati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah. Sebagai contoh Spengler mengacu pada kebudayaan-kebudayaan besar yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurut Spengler kebudayaan Barat akan mengalami hal serupa--oleh karena u bukunya diberinya judul The Decline of the West ("pudarnya Barat").
Pandangan mengenai siklus kita jumpai pula dalam karya Vilfrcdo Pareto (lihat Pareto, 1935 dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed. 1973:26-29). Dalam tulisannya mengenai sirkulasi kaum elite (the circulation of elites) Pareto mengemukakan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat dua lapisan, lapisan bawah atau nonelite dan lapisan atas, elite, yang terdiri atas kaum aristokrat dan terbagi lagi dalam dua kelas: elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa. Menurut Pareto aristokrasi senantiasa akan mengalami transformasi; sejarah menunjukkan bahwa aristokrasi hanya dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhimya akan pudar untuk selanjutnya diganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari lapisan bawah. Sejarah, menurut Pareto, merupakan tempat pemakaman bagi aristokrasi. Aristokrasi yang menempuh segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan akhirnya akan digulingkan melalui gerakan dengan disertai kekerasan atau revolusi. Sebagaimana halnya dengan Spengler, maka di sini Pareto pun mengacu pada pengalaman kaum aristokrat di Yunani, Romawi dan sebagainya.
c. Gabungan Beberapa Pola
Sejumlah teori menampilkan penggabungan antara kedua pola ~ergebut di atas. Halevy¬Etzioni dan Etzioni memberikan dua contoh; salah satu di antaranya ialah teori konllik Karl Marx. Pandangan Marx bahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan tcrus-menerus antara kelas-kelas dalam masyarakat sebenarnya mengandung benih pandangan siklus karena setelah suatu kelas berhasil menguasai kelas lain menurutnya siklus serupa akan berulang lagi. Ramalannya mengenai masyarakat komunis pun mengandung pemikiran siklus, karena masyarakat komunis yang didambakan Marx merupakan masyarakat yang menurut Marx pernah ada sebelum adanya feodalisme dan kapitalisme--masyarakat yang tidak mengenal pembagian kerja, yang di dalamnya konflik diganti dengan kerja sama. Namun dalam pemikiran Marx kita pun menjumpai pemikiran linear: menurutnya perkembangan pesat kapitalisme akan memicu konflik antara kaum buruh dengan kaum borjuis yang akan dimenangkan kaum buruh yang kemudian akan membentuk masyarakat komunis. Pandangan Marx mengenai perkembangan linear pun tercermin dari pandangannya bahwa negara jajahan Barat pun akan melalui proses yang telah dialami masyarakat Barat.
Max Weber merupakan tokoh sosiologi klasik lain yang menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni menghasilkan teori yang berpola siklus (lihat Weber, 1958 dan 1947 dalam Etzioni¬Halevy dan Etzioni, eds., 1973:40-53). Pemikiran Weber yang dinilai mengandung pemikiran siklus ialah pembedaannya antara tiga jenis wewenang: kharismatik, rasional-legal dan tradisional. Weber mclihat bahwa wewenang yang ada dalam masyarakat akan beralih-alih: wewenang kharismatik akan mengalami rutinisasi sehingga beralih menjadi wewenang tradisional atau rasional-legal; kemudian akan muncul lagi wewenang kharismatik, yang diikuti dengan rutinisasi; dan seterusnya. Di pihak lain, Weber pun melihat adanya perkembangan linear dalam masyarakat, yaitu semakin meningkatnya rasionalitas.

Pandangan-pandangan para tokoh sosiologi klasik tcrscbut sudah banyak yang ditinggalkan olch para tokoh sosiologi modern. Meskipun banyak tokoh sosiologi modern-¬khususnya penganut fungsionalisme seperti Talcott Parsons dan Neil J. Smclser--menganut pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara evolusioner, namun suatu perkembangan linear laksana teori tiga tahap Comte tidak dianut lagi. Meskipun di kalangan tokoh sosiologi modern pun terdapat penganut pendekatan konflik, seperti misalnya Ralf Dahrendorf, namun mercka pun sudah meninggalkan banyak di antara pemikiran asli Marx.
11.2. Perubahan Sosial di Abad ke 20
Teori-teori yang dikemukakan para perintis awal sosiologi muncul sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan sosial besar yang terjadi pada masyarakat Barat, terutama di Eropa Barat. Di kala itu proses-proses perubahan besar yang terjadi semenjak abad ke - 18 seperti detradisionalisasi, defeodalisasi, urbanisasi, industrialisasi, perkembangan kapitalisme dan sosialisme memang baru terbatas pada masyarakat Eropa Barat. Masyarakat-masyarakat non-Barat di luarnya--di Asia, Afrika, dan di Amerika Latin--bukannya tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang terjadi di Barat. Praktik-praktik imperialisme dan kolonialisme terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat yang mendahului dan menyertai peruhahan besar di Eropa Barat pun memicu perubahan pada masyarakat non-Barat, meskipun perubahan yang terjadi sangat berbeda dengan perubahan di Eropa. Kontak dengan Belanda dan negara Eropa lain yang dialami masyarakat kita sejak abad ke 17 berakibat hilangnya kekuasaan politik dan ekonomi para penguasa pribumi pada tingkat regional dan lokal yang diikuti penjajahan langsung maupun tidak langsung, sehingga eksploitasi hasil bumi kita dalam skala besar oleh pihak swasta maupun Pemerintah Belanda untuk keperluan pasar Eropa dimungkinkan.
Berakhirnya Perang Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Selatan--baik di negara-negara yang telah ada maupun di negara-negara baru yang telah bebas dari penjajahan. Perhatian sejumlah ilmuwan sosial mulai dipusatkan pada proses perubahan di kawasan di mana mayoritas masyarakat dunia hidup, dan sebagai akibatnya muncul berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara di kawasan ini. Pusat-pusat studi yang mengkhususkan diri pada masyarakat non-Barat ini mulai berkembang di berbagai negara Barat. Negara-negara non-Barat ini mulai diberi berbagai
. julukan seperti "Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga" (Third World Societies), "Ncgara¬negara Terkebelakang" (Underdeveloped Countries atau Less Developed Countries), "Negara¬negara Sedang Berkembang" (Developing Countries), atau "Ncgara-ncgara Sclatan" (South Countries).
Istilah Masyarakat Dunia Ketiga mengacu pada mayoritas masyarakat dunia yang pernah dijajah negara-negara Barat dan yang masyarakatnya kebanyakan hidup dari pertanian; istilah Masyarakat Dunia Pertama (First World Society) mengacu pada negara-negara industri maju di Eropa Barat, Amerika, Australia dan Jepang; dan istilah Masyarakat Dunia ICCdua (Second World Societies) mengacu pada negara-negara industri di Eropa Timur (lihat Giddens, 1989:52¬58). Negara-negara "Sedang Berkembang" tersebut sering pula dijuluki Ncgara-negara Sclatan (South Countries), karena negara-negara tersebut kebanyakan terletak di belahan Selatan bumi.
Giddens (1989) mengemukakan bahwa kesalingtergantungan masyarakat dunia semakin meningkat. Proses peningkatan kesalingtergantungan masyarakat dunia ini dinamakannya globalisasi (globalization) dan ditandai kesenjangan besar antara kckayaan dan tingkat hidup masyarakat-masyarakat industri dan masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga. Mcnurutnya tiap tahun jutaan penduduk mati kelaparan meskipun produksi makanan di scluruh dunia cukup untuk memberi makan semua orang, sedangkan sejumlah besar bahan makanan tersimplan-atatt dimusnahkan di negara-negara Barat. Gejala-gejala perubahan sosial lain yang dicatat Giddens ialah tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri baru (newly industrialized countries, atau NIC), dan semakin meriingkatnya komunikasi antarnegara sebagai dampak teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Masalah globalisasi diulas pula oleh Waters, yang mendefinisikannya sebagai "A social process in which the constraints of geography on social and cultural arrangements recede and in which people become increasingly aware that they are receding" (1996:3). Waters berpandangan bahwa globalisasi berlangsung di tiga bidang kehidupan, yaitu perekonomian, politik, dan budaya. Menurutnya globalisasi ekonomi berlangsung di bidang perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar modal, dan pasar kerja; globalisasi politik terjadi di bidang kedaulatan negara, fokus kegiatan pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan budaya politik; dan globalisasi budaya terjadi dalam bidang apa yang dinamakannya sacriscape (ide keagamaan), ethnoscape (etnisitas), econoscape (pola pertukaran benda berharga), mediascape (produksi dan distribusi gambaran sama ke seluruh dunia), dan leisurescape (pariwisata).

11.3. Teori-teori modern Mengenai Perubahan Sosial
Teori-teori modern yang terkenal ialah, antara lain, teori-teori modernisasi para penganut pendekatan fugsionalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teori ketergantungan . Andrd Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik, dan teori mengenai sistem dunia dari Wallerstein.
Di antara teori-teori klasik dan teori-teori modern kita dapat menjumpai benang merah. Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara linear yang dikemukakan oleh tokoh klasik seperi Comte dan Spencer, maka teori-teori modernisasi pun cenderung melihat bahwa perkembangan masyarakat Dunia Ketiga berlangsung secara evolusioner dan linear dan bahwa masyarakat bergerak ke arah kemajuan--dari tradisi ke modernitas. Para penganut teori kontlik, di pihak lain, melihat bahwa perkembangan yang terjadi di Dunia Ketiga justru menuju ke keterbelakangan dan pada ketergantungan pada negara¬negara industri maju di Barat.
Teori modernisasi. Teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi (lihat Light, Keller and Calhoun, 1989). Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap "tinggal landas" (take-offl ke arah perkembangan ekonomi. Menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni transisi dari keadaan tradisional ke modernitas melibatkan revolusi demografi yang ditandai menurunnya angka kematian dan angka kelahiran; menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga; terbukanya sisem stratifikasi; peralihan dari struktur feodal atau kesukuan ke suatu birokrasi; menurunnya pengaruh agama; beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke sistem pendidikan formal; munculnya kebudayaan massa; dan munculnya perekonomian pasar dan industrialisasi (lihat Etzioni-Halevy dan Etzioni, 1973:177).
Teori ketergantungan. Menurut teori ketergantungan (dependencia) yang didasarkan pada pengalaman negara-negara Amerika Latin ini (lihat antara lain, Giddens, 1989, dan Light, Keller and Calhoun, 1989) perkembangan dunia tidak merata; negara-negara industri menduduki posisi dominan sedangkan negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomis tergantung padanya. Perkembangan negara-negara industri dan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga, menurut teori ini, berjalan bersamaan: di kala negara-negara industri mengalami perkembangan, maka negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kolonialisme dan nco¬kolonialisme, khususnya di Amerika Latin, tidak mengalami "tinggal landas" tetapi justru menjadi semakin terkebelakang.

Teori sistem dunia. Menurut teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein ini (lihat Giddens, 1989 dan Light, Keller dan Calhoun, 1989) perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga jenjang: negara-negara inti, negara-negara semi-periferi, dan negara-negara periferi. Negara-negara inti terdiri atas negara-negara Eropa Barat yang sejak abad 16 mengawali proses industrialisasi dan berkembang pesat, sedangkan negara-negara semi-periferi merupakan negara-negara di Eropa Selatan yang menjalin hubungan dagang negara-negara inti dan secara ekonomis tidak berkembang. Negara-negara periferi merupakan kawasan Asia dan Afrika yang semula merupakan kawasan ekstern karena berada di luar jaringan perdagangan negata-negara inti tetapi kemudian melalui kolonisasi ditarik ke dalam sistem dunia. Kini negara-negara inti (yang kemudian mencakup pula Amerika Serikat dan Jepang) mendominasi sistem dunia sehingga mampu memanfaatkan sumber daya negara lain untuk kepentingan mereka sendiri, sedangkan kesenjangan yang berkembang antara negara-negara inti dengan negara-negara lain sudah sedemikian lebarnya sehingga tidak mungkin tersusul lagi.

11.4. Perubahan Sosial di Asia Tenggara
Konta antara masyarakat Barat dengan masyarakat pribumi yang telah mengakibatkan perubahan sosial pada masyarakat Asia Tenggara pun telah menarik perhatian para ilmuwan soial. Kemajemukan masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara telah memungkinkan munculnya berbagai konsep dan teori yang dilandaskan pada pengalaman khas berbagai masyarakat Asia Tenggara. Dalam bukunya Sociology of South East Asia: Readings on Social Change and Development, Hans-Dietcr Evers mcnyunting scjumlah tulisan ~ilmuwan sosial yang mencakup beberapa konsep dan teori yang diangkat dari pengalaman masyarakat Indonesia seperti konsep dual societies, plural societies dan involution (lihat Evers, 1980).
Dual societies. Pada awal abad ini J.H. Boeke, seorang ahli ekonomi Belanda yang pernah bekerja di Indonesia mcmpertanyakan mengapa dalam masyarakat Barat kekuatan kapitalisme telah membawa peningkatan taraf hidup dan persatuan masyarakat, sedangkan dalam masyarakat Timur kapitalisme justru bersifat merusak. Dengan datangnya kapitalisme di masyarakat Timur ikatan-ikatan komunitas melemah, dan taraf hidup masyarakat menurun. Di Asia Tenggara sendiri lapisan atas masyarakat mengalami Westernisasi dan urbanisasi sedangkan lapisan bawah menjadi semakin miskin (lihat Boeke, dalam Evers, 1980: Evers, 1980:2-3).
Menurut Boeke, gejala ini disebabkan karena kapitalisme telah mengakibatkan terjadinya apa yang dinamakannya ekonomi dualistis (dual economy). Dalam suatu masyarakat dualistis, menurut Boeke, kita menjumpai sejumlah antitesis, yaitu pertentangan antara (1) faktor produksi pada masyarakat Barat yang bersifat dinamis dan pada masyarakat pribumi di pedesaan yang bersifat statis, (2) masyarakat perkotaan (yang terdiri atas masyarakat Barat) dengan masyarakat pedesaan (orang Timur), (3) ekonomi uang dan ekonomi barang, (4) sentralisasi administrasi dan 1okalj,&asi, (5) kehidupan yang didominasi mesin (pada masyarakat Barat) dan yang didominasi kekuatan alam (pada masyarakat Timur), dan (6) perekonomian produsen dan perekonomian konsumen.
Menurut Evers ciri dualistis pada perekonomian masyarakat kolonial maupun pasca¬kolonial yang disebutkan Boeke, yaitu adanya masyarakat yang terkebelakang yang hidup berdampingan dengan masyarakat yang maju mempetoleh berbagai tanggapan. Sejumlah ilmuwan sosial mencoba mengembangkan pemikiran Boeke ini, sedangkan ilmuwan lain menolaknya. Evers sendiri mengecam Boeke karena cenderung mempersalahkan masyarakat pribumi sendiri atas keterbelakangan mereka. ,;
Plural societies. Konsep masyarakat majemuk (plural societies) dipopulerka~n oleh J.S. Furnivall. Menurut Furnivall (dalam Evers, 1980:86-96) Indonesia (Hindia-Belanda) merupakan contoh suatu masyarakat majemuk, yaitu: ". . . a society, that is, comprising two
or more elements or social orders which live side by side, yet without mingling, in one political unit."
Dalam gambarannya masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur; namun menurutnya kelompok Eropa, Cina dan pribumi saling melekat laksana kembar Siam dan akan hancur bilamana dipisahkan, scbagaimana nampak dari kutipan bcrikut:
.., in Netherlands India, the European, Chinese and native are linked as vitally as Siamese twins and, if rent asunder, every element must dissolve in anarchy.
Menurut Evers konsep ini pun telah mendorong sejumlah ilmuwan sosial untuk menggunakannya, mengembangkannya, dan mengujinya pada masyarakat lain. Evers sendiri menilai bahwa baik Boeke maupun Furnivall menganut gambaran yang terlalu sederhana mengenai masyarakat Asia Tenggara.
Involution. Dampak pengaruh kapitalisme terhadap masyarakat pribumi dibahas Clifford Geertz dalam bukunya Agricultural Involution (Involusi Pertanian; lihat Geertz, 1966). Menurut Geertz kontak dengan kapitalisme Barat tidak menghasilkan perubahan secara evolusioner pada masyarakat pedesaan di Jawa, melainkan suatu proses yang dinamakannya involusi. Menurut Geertz penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di Jawa membawa kemakmuran di Barat tetapi mengakibatkan suatu proses "tinggal landas" berupa peningkatan jumlah penduduk pcdesaan. Ternyata kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yaitu suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima hagian dari panen meskipun bagiannya memang menjadi semakin mcngecil.
Konsep Geertz ini pun digunakan sejumlah ilmuwan sosial lain--antara lain di bidang perkotaan sehingga kita mengenal pula konsep urban involution yang dipopulerkan oleh W.R. Armstrong dan Terry McGee (lihat Armstrong dan McGee dalam Evers, 1980:220-234). Armstrong dan McGee mengaitkan konsep involusi dengan sistem pasar di daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974) lebih mengaitkan konsep involusi dengan perubahan struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk bertambah, namun kurang terjadi diferensiasi sosial.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERUBAHAN SOSIAL "

Posting Komentar