Oksidentalisme secara umum
dimaknai sebagai cara pandang terhadap yang lainnya (the other/barat) dari kacamata timur. Kelahirannya dipicu oleh dominasi
kajian Barat terhadap Islam dan adanya ketimpangan akibat westrenisasi yang
berpengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tapi juga
mengancam kemerdekaan peradaban manusia.
Hadirnya
oksidentalisme bertujuan menguraikan inferioritas hubungan Timur dan Barat,
menumbangkan superioritas Barat dengan menjadikannya objek kajian dan
melenyapkan inferioritas Timur dengan menjadikannya sebagai subjek pengkaji.
Secara historis terdapat perbedaan antara orientalisme dan oksidentalisme,
dimana orientalisme muncul di tengah ekspansi imperialisme Eropa pada abad
ke-17 yang kemudian berkembang membawa paradigma riset ilmiah dan aliran
politik yang tidak bersifat netral karena banyak didominasi struktur kesadaran
Eropa, sedangkan oksidentalisme cenderung berupa upaya pembebasan tanah air dan
belum mengembangkan bentuk apapun hingga berposisi netral karena tidak memburu
kekuasaan dan hak kontrol.
Sesungguhnya oksidentalisme sudah ada sejak lama, Dunia Timur yang diwakili
Tradisi Islam dan tradisi lain yang telah ada sebelum Islam pada masa lalu
telah mengupayakan pengkajian terhadap Yunani dan Romawi sebagai represantasi
sumber kesadaran Eropa. Proses pengkajian tersebut menghadirkan dialektika antara
tradisi Islam sebagai peradaban Timur dan Barat sebagai objek kajian.
Pada tataran
konseptual, oksidentalisme berusaha memahami Eropa secara holistis (menyeluruh)
mengenai sejarah kelahiran dan perkembangannya, serta meletakkan Eropa dalam
batas geografis dan demografisnya. Oksidentalisme mendambakan terhapusnya
budaya kosmopolit yang dipropagandakan Barat dan menemukan jati diri sebuah
bangsa dengan ciri khasnya. Oksidentalisme menawarkan kesadaran bahwa setiap
bangsa memiliki tipe peradaban dan kesadarananya sendiri, hal ini membuka jalan
bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannya dari pengaruh
Eropa yang menghalangi nuraninya, sehingga mereka dapat berpikir dengan akal
dan dalam kerangka lokalnya sendiri.
Secara
epistimologis, oksidentalisme berupaya mengakhiri hegemoni orientalisme dan mengembalikan status Timur dari
sekedar monumen yang dikaji menjadi manusia yang mengkaji. Lebih dari itu,
oksidentalisme juga menjelma sebagai ilmu pengetahuan yang akurat serta
membentuk peneliti yang mempelajari dan menyelami peradabannya dengan
kacamatanya sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral, tidak
seperti yang dilakukan Barat terhadap peradaban lain. Dengan oksidentalisme,
manusia akan mengalami era baru yang menampilkan rasialisme sebagai penyakit
yang harus dimusnahkan, yang selama ini terpendam dan menjadi borok nafas
peradaban yang dihembuskan bersama kesadaran Eropa.
Oksidentalisme
bertujuan mengakhiri mitos bahwa Barat sebagai representasi seluruh umat
manusia serta sebagai pusat kekuatan dan penentu modernitas, menghapus
eurosentrisme dan menjelaskan bagaimana kesadaran Eropa mengambil posisi
tertinggi sampai pada tahap hegemoni
di sepanjang sejarah. Selain itu, oksidentalisme juga mengembalikan kebudayaan
Barat ke batas alamiahnya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar keluar
melalui penguasaan teknologi media informasi, pusat penelitian ilmiah dan media
penakluk lainnya.
Oksidentalisme
hadir sebagai bentuk reaksi dari keberadaan orientalisme yang dalam kurun waktu
antara abad ke-17 sampai abad ke-20 telah memposisikan Barat sebagai Subjek
pengkaji Timur hingga menimbulkan stereotipe psikologis yang luar biasa parah,
antara lain rasa superioritas Barat karena mereka selalu mensubyekkan diri,
sebagai pengamat. Sebaliknya Timur yang melulu dijadikan obyek kajian, dan
bahkan sasaran penjajahan Barat, lalu merasa inferior. Karena jika hubungan
superior-inferior ini dipelihara terus, tidak saja berakibat pada ketidakharmonisan
Barat-Timur selama berabad-abad, tapi juga memperkeruh komplikasi sejarah dalam
konflik peradaban.
Sebagai bentuk
reaksi itu oksidentalisme mengambil sikap bahwa ekspansi kolonialisme Barat
yang tanpa batas harus segera dihentikan. Perang kebudayaan pun mesti
cepat-cepat diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke
wilayah geografis dan historisnya dengan menghapus rasa inferior dunia Islam vis a vis dengan
superior dunia Barat.
Dalam hal ini
Hasan Hanafi (2000, h. 57) megilustrasikan bahwa yang terpenting adalah
“mengakhiri orientalisme” dalam pengertian mengubah status Timur dari sekadar
obyek, menjadi subyek. Timur sebagai subyek, sedangkan Barat yang dijadikan
obyek kajian. Bahkan lebih dari itu, oksidentalisme juga dapat mengubah peradaban
Barat dari kajian-obyek menjadi obyek-kajian dengan melacak sejarah, sumber,
lingkungan, awal, akhir, kemunculan, perkembangan, struktur, dan keterbentukan
peradaban Barat.
Lebih lanjut
diungkapkan, ada harapan bahwa pembebasan diri dari dominasi pihak lain yang
selama ini dicita-citakan proyek oksidentalisme dapat tercapai, sehingga muncul
“harmoni kebudayaan-peradaban” antara ana (yakni,
“saya”, umat/dunia Islam) dengan al-akhar (the
other, pihak lain, Barat/Eropa Kristen). Harmoni tersebut
perlu dilestarikan terus, terutama dari sudut pandang ontologisnya. Misalnya,
seperti dilukiskan begitu indah oleh Hasan Hanafi, “membebaskan ego dari
kekuasaan the other pada tingkat
peradaban, agar ego dapat
memposisikan dirinya sendiri secara bebas.” “Saya tidak teralienasi” karena itu
“saya ada”; atau “saya bukan orang lain” dan karenanya “saya ada”.Yang dimaksud
dengan ego dalam hal ini
adalah peradaban Timur, khususnya Islam; dan the other adalah Barat.
Akhirnya,
oksidentalisme idealnya diharapkan mampu membentuk sosok bangsa Timur yang
mengenal dirinya, mengenal agamanya, tradisi intelektual secara mendalam dan
menyeluruh. Bahkan kalau bisa dapat menghadirkan rasa self confident dengan cara
melawan pembaratan dengan cara-cara rasional dan ilmiah. Saat ini harus diakui
bahwa hegemoni politik, ekonomi, dan budaya sudah di tangan mereka. Dalam
bidang intelektual, mereka juga berhasil menciptakan anggapan bahwa otoritas
ada pada mereka dan salah satu langkah konkritnya adalah pemperdalam
pengetahuan orang Islam tentang sejarah Islam, sejarah al-Qur’an, sejarah
hadits dan hukum Islam, di samping --yang tak kalah perlunya-- mempelajari
sejarah Kristen dan Yahudi. Semua ini harus dilakukan karena mereka faham
sejarah Islam sedangkan umat Islam mayoritas buta sejarah mereka, sehingga
tidak heran jika umat Islam akan gamang ketika mereka mengatakan “What you know, we know. What we know you don’n kwow” artinya “apa
yang anda tahu, kami juga tahu. Apa yang kami tahu, anda tidak tahu”.
Sudah saatnya umat Islam percaya diri untuk menggali
khazanah sendiri yang bersumber dari kalangan sendiri yang begitu kaya dan tak
terpermanai jumlahnya, tanpa harus terhanyut oleh pesona khazanah “import” yang
datang dari luar Islam yang dapat meracuni umat dan membawa umat jauh dari akar
ke-Islamannya. Seraya pula berupaya
untuk terus jadi orang yang dengan yakin mengatakan kepada mereka para
“importir” tersebut “lakum dinukum wa liya
din.”
0 Response to "OKSIDENTALISME DAN PERADABAN BARAT"
Posting Komentar