Kaum Orientalis adalah para terpelajar yang menjadikan Agama Islam,
kebudayaan Islam, Negeri dan Bahasa Arab sebagai objek materi studi mereka.
Orientalis merupakan suatu gerakan yang timbul di zaman moderen. Ia bersifat ilmiah
karena meneliti dan memperdalam masalah ketimuran, tapi di balik penelitiannya
itu mereka berusaha keras supaya masyarakat Timur berpindah mengikuti keinginan
Kebudayaan Barat yang sesat.
Orientalis adalah kumpulan sarjana-sarjana Barat, Yahudi, Kristen,
Ateis dan lain-lain yang mendalami bahasa-bahasa Timur, terutama bahasa Arab.
Studi ini mereka gunakan untuk memasukkan ide-ide dan paham-paham yang bathil
ke dalam ajaran Islam agar akidah, ajaran, dan dakwah Islam merosot, berkurang
pengaruhnya terhadap masyarakat, tidak mampu mengangkat derajat kemanusiaan,
dan tujuan Islam tak kunjung tercapai dalam mengeluarkan manusia dari
kegelapan.
Definisi Orientalisme menurut beberapa tokoh :
Ø Joesoef Sua’yb
: Orientalisme adalah suatu aliran atau paham yang berkeinginan untuk
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta
lingkungannya.
Ø Mahnun Husain :
Orientalisme adalah kajian tentang dunia timur beserta peradaban dan agamanya
yang dilakukan oleh bangsa Barat.
Ø Edward W Said :
Orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya
yang khusus dalam pengalaman manusia Barat.
Pijper (Guru besar luar biasa dalam bahasa Arab,
Syria,semiotologien dan Agama Islam pada Universitas Amsterdam) menganggap
bahwa Oliver Van Cologne merupakan Orientalis Belanda pertama karena
perhatiannya yang khusus terhadap Islam, seperti terlihat dalam bukunya,
sejarah Dimyat. Oliver terlibat langsung dalam pengepungan kota Dimyat
pada tahun 1218 M dan pada surat-surat yang ditulisnya kepada Sultan al-Malik
al-Kamil dari dinasti Ayyubiyah dan kepada para ulama di Mesir dengan bahasa
latin sewaktu perang salib yang kelima.
Para Orientalis berbahaya karena mereka ingin menghancurkan warisan
pusaka Islam dan agama umat Islam. Hal bahaya itu juga mereka wariskan kepada
keturunannya padahal tulisan-tulisan mereka itu mengaburkan kebenaran dan telah
menyimpang dari pembahasan ilmiah sejati yang semestinya disikapi kaum peneliti
dengan penuh kejujuran hati nurani dan penemuan fakta yang benar.
Sejarah Orientalis
Tidak dapat diketahui secara pasti, siapa orang Barat yang pertama
kali memperlihatkan studi ketimuran dan kapan hal itu dimulai. Namun yang
jelas, ada beberapa pendeta Barat yang menuju Andalusia, untuk mengetahui
tentang kebesaran dan kemegahan kota tersebut. Mereka belajar kebudayaan di
berbagai sekolah di sana dan menerjemahkan Al-Qur’an dan buku yang berbahasa
Arab ke dalam bahasa mereka. Salah seorang dari pendeta tersebut adalah Serbert,
seorang pendeta yang dipilih sebagai biarawan gereja Roma pada tahun 999 M
setelah tamat belajar di berbagai lembaga pendidikan di Andalusia, ia kembali
ke negerinya dengan menyebarkan budaya Arab beserta karya-karya ulamanya yang
tersohor. Kemudian ia mendirikan berbagai lembaga studi Arab seperti Madrasah
Badawi al-Arabiah. Namun ada juga sejarawan yang menjelaskan bahwa perang di
Andalusia itu terjadi pada tahun 1085 M (setelah Alfonso menaklukkan Toledo)
Ada sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa orientalis itu lahir
akibat adanya Perang Salib ( sesudah ). Atau lebih tepatnya sejak adanya
pergesekan politik antara umat Islam dengan umat non muslim di Palestina[1].
Peristiwa ini terjadi ketika umat Islam berada dibawah pimpinan Sholahuddin
Al Ayyubi. Karena kalah dalam Perang Salib, maka mereka (umat Kristen)
berusaha melakukan revenge ( balas dendam). Dan dalam Perang Salib yang
terakhir, umat Kristen akhirnya dapat mengalahkan pasukan Islam.
Sebagai
sebuah disiplin
Renaissance lahir membawa alasan-alasan baru untuk mengkaji Islam,
yaitu bangkitnya minat terhadap filologi klasik, yang menjadi paradigma untuk
memahami budaya lain, dan semakin meningkatnya perjalanan ke dunia Timur, yang
sebagian besar untuk kepentingan ekonomi Eropa. Untuk menjadi sebuah disiplin ilmu, orientalisme
mengalami beberapa fase :
Pada abad ke-19, studi-studi ketimuran mulai menjadi disiplin
tersendiri di universitas-universitas Eropa. Kecenderungan ke arah pelembagaan
terus meningkat selama abad ini. pada fase ini, dihasilkan sebuah karya yang
yang berjudu Description de I’Egypte yang terdiri dari 23 jilid ( Paris,
1809 – 1828 ). Karya ini menghadirkan upaya penyusunan sistematik untuk
menginventarisasi warisan sejarah, budaya dan ilmiah dari negara – negara
Islam. Filologi, pada masa ini menmperoleh status ilmu pengetahuan, yakni
sebagai ilmu budaya manusia. Pengetahuan orientalis abad ini, menitikberatkan
pada pencelaan generalisasi yang tidak didukung oleh teks. Tokoh penting
periode ini antara lain Ernest Rennan ( 1823-1892 ), Edward W. Lane (
1801-1876 ), W. Roberston Smith ( 1846-1894 ), Julius Welhausen ( 1844-1948 ),
Michele Amari ( 1806-1889), Leone Caetani ( 1869-1935 ) dan Armand Pierre
Caussin ( 1795-1871 ).
Pada abad 20, Orientalis mencapai puncak kekuasaan dan pengaruh.
Pendirian School of Oriental and African Studies pada tahun 1917 di
Inggris dan pendirian jabatan dan jurnal di Prancis telah mengawali fase baru
Orientalisme dasar. Seiring dengan berkembangnya ilmu - ilmu sosial di Prancis,
topik dari Orientalisme mulai terpecah pecah dengan munculnya disiplin -
disiplin baru tersebut. Pada periode ini muncul tokoh Orientalis seperti Louis
Massignon, Ignaz Goldziher, Chistian Snouck Hurgronje, D. B. Macdonal dan
lain – lain.
Fase setelah Perang Dunia II, muncul kajian kawasan seiring
pertumbuhan ilmu sosial yang dinamis, mempercepat perubahan orientalisme
sebagai topik akademis. Pada fase ini, kejayaan Orientalis berpindah dari Eropa
ke Amerika. Kajian Orientalisme pada masa ini tidak hanya berkutat pada Islam
semata, namun mulai merambat ke kajian – kajian masalah Dunia Ketiga. Perang
Dunia II, bagi Amerika merupakan sebuah langkah awal untuk melatih ketrampilan
dan pengetahuan mengenai bahasa dan kebudayaan. Amerika juga terus memperluas
pengaruhnya ke seluruh dunia, terutama ke Dunia Ketiga.
Sekarang, kajian Islam yang dilakukan di Barat oleh Orientalis,
telah menggunakan pendekatan – pendekatan dan metode – metode, antara lain :
1.
Metode ilmu – ilmu yang masuk dalam kategori humanities, seperti
disiplin filsafat, filologi, kritik sastra, ilmu bahasa dan sejarah.
2.
Menggunakan metode dalam disiplin teologi, studi Bible dan sejarah
Gereja.
3.
Menggunakan pendekatan dan metode ilmu – ilmu sosial, khususnya
antropologi, ilmu bahasa dan psikologi.
4.
Menekankan pada studi kawasan ( area studies ), seperti studi Timur
Tengah ( Middle Eastern Studies ), studi bahasa dan peradaban Timur
Dekat ( Near Eastern Languages and Civilization Studies ), studi Asia
Selatan ( South Asian Studies ) dan studi Asia Tenggara ( South East
Asian Studies ). Dengan demikian, Islamic Studies adalah orientalisme in
the new fashion.
Ambivalensi Dalam Keberagamaan
Menurut Durkheim, peranan dan kontribusi agama (keberagaman) sangat
kuat dalam membangun peradaban dan berbagai ekspresi yang menghiasi lembaran
sejarah manusia. Begitu juga, Komarudin Hidayat menyatakan bahwa “hampir semua
peradaban besar yang pernah tumbuh di muka bumi pada mulanya dimotivasi oleh
keyakinan agama”. Berbagai monument peradaban semacam bangunan pyramid di
Mesir, Candi Borobudur di Jawa Tengah, dan sekian banyak bangunan di Yunani itu
karena dorongan keyakinan agama.
Dalam sejarah ilmu baik di Timur maupun di Barat sehingga menjadi
disiplin ilmu yang mantap, pada awalnya juga dimotivasi oleh faktor agama,
demikian halnya dengan studi Islam di Barat (dan lebih-lebih di Timur). Dalam
konteks ini Steenbrink melihat akar problem hubunga Orientalis dengan dunia
Islam pertama kali adalah pada persoalan sikap keberagaman. “ sejak
pemulaannya, hubungan antara Orientalis dan dunia Timur tidaklah hubungan
antara dunia Islam dan Kristen”. Hubungan itu tampak diwarnai oleh sikap keberagaman
yang cukup ambivalen atau memuat beberapa unsur yang saling bertentangan. Dengan alasan, ajaran Islam bersifat sangat
positif terhadap Kristen dan secara inklusif digambarkan melalui pengakuan bahwa Nabi Isa
secara penuh dan tanpa diskriminasi dianggap sebagai Nabi yang membawa wahyu
Allah. Umat Islam juga mengakui bahwa Yesus telah membawa Kitab Suci yang sah.
Akan tetapi, dalam kenyataannya ditegaskan, bahwa Kitab Suci tersebut sudah
tidak dipakai lagi, karena sudah terjadi perubahan di dalam teksnya, sehingga
aslinya tidak tersimpan lagi.
Prasangka Kristen, Historisme dan
Superioritas Ras
Dalam Orientalisme
memang terdapat bias, prejudice dan mispersepsi Barat tentang Timur, dan karena
itu mereka melancarkan kritik. Faktor lain yang menyebabkan adanya kegiatan
Orientalisme antara lain faktor perdagangan, minat akan dunia Timur, ekonomi,
politik, keilmuan dan juga karena perseteruan ideologis Kristen Islam.
Prasangka Kristen merupakan satu diantara beberapa hal yang dilihat
Steenbrink, mewarnai perjalanan orientalisme. Menurut Steenbrink, ada sebagian
penulis yang secara khusus, hendak memperkuat kedudukan agama Kristen. Kecuali
Steenbrink, diantara penulis yang menguraikan dengan panjang tentang adanya
bias Kristen dalam orientalisme adalah Maryam Jameelah (kelahiran New York yang
dibesarkan dalam tradisi Yahudi dan kemudian masuk Islam). Menurut Jameelah,
memang ada sejumlah pemikir besar di Barat yang telah menghabiskan umurnya
untuk mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap
kajian-kajian itu, tetapi nilai-nilai teologik agama Kristen itu tetap selalu
mewarnai tema orientalisme.
Historisme
Historisme merupakan ciri yang paling menonjol dalam perjalanan
orientalisme, karena para orientalis dalam melakukan studinya memperlakukan
agam (Islam) sebagai gejala sosial budaya, yang selalu berkesinambungan. Pada
umumnya sikap historisme mempengaruhi sarjana Barat di bidang penelitian agam
sejak pertengahan abad ke-19. Menurut Hasan Hanafi, sejak itu orientalisme
telah muncul dengan membawa revolusi paradigma riset ilmiah atau aliran politik
yang memang khas pada abad itu.
Contoh paling menarik dari sikap historisme yang sering disebutkan
oleh Steenbrink adalah Snouck Hurgronje dalam pembahasannya mengenai haji.
Hurgronje melihat bahwa dalam praktek haji terdapat sesuatu yang memuat unsur
Yahudi dan sesuatu yang masih mempunyai unsur-unsur Arab asli. Begitu juga
dalam artikelnya mengenai “iblis”, edisi kedua Enclyclopaedia of Islam,
sampai dalam kesimpulan bahwa konsep “jin” berasal dari dunia Arab asli,
konsep”malaikat” dari Yahudi dan Kristen.
Superioritas Ras
Adanya bias cultural, etnosentris,bahkan rasial yang didorong oleh
Eurosetrisme dalam tradisi orientalisme memang sudah banyak dibuktikan.
Misalnya, Edward W Said, seorang yang paling gencar mengungkap bias cultur ini
melihat bahwa Timur dan Barat adalah istilah yang penuh dengan bias. Menurutnya,
istilah Timur bukanlah merupakan sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya.
Timur (Orient) adalah imaginative geography yang diciptakan secara
sepihak oleh Barat. Dengan cara demikian, Barat kemudian berhasil mengambil
peran sebagai ego yang menjadi subyek dan menganggap non Barat sebagai the
other yang dijadikan obyek. Maka Orientalisme sebenarnya adalah pandangan Eropa
terhadap the other non Eropa. Subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji.
Akibat posisinya sebagai pengkaji itu, maka muncullah komleksitas superioritas
dalam ego Eropa, sebaliknya karena posisinya sebagai obyek yang dikaji, maka
dalam diri the other non Eropa, muncullah kompleksitas inferioritas\
[1] Bukti-bukti kebohongan Orientalis, Dr Qasim as samurai, gema insani
press, Jakarta : 1996 hlm 29
0 Response to "Di sekitar Terma Orientalisme"
Posting Komentar