Ketuhanan dan jiwa al-Kindi

Ketuhanan dan jiwa al-Kindi
Drs. Tarpin J.M., M.A.

Abstrak:

Al-Kindi juga mengemukakan bahwa jiwa manusia itu memmpunyai tiga daya, yaitu daya berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah), daya marah (al-quwwah al-ghadhabiyah), dan daya syahwat *al-quwwah al-syahwaniyah). Daya berpikir itu disebut akal. Akal terdiri dati tiga tingkat : (1)  Akal yang masih bersifat potensial (al-quwwah); (2) Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi akatual (Al-Fi’I); (3) Dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany), akal kedua

Kata Kunci:
Filsafat, Filsafat Ketuhanan, Filsafat jiwa, daya berpikir:Akal potensial dan akal aktual

RIWAYAT HIDUP DAN KARYA-KARYA AL-KINDI
Al Kindi seorang filosof muslim pertama. Lahir di Kufah (Irak) pada 185 H/801 M. nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’cub bin Ishaq bin Shabah bin Imran bin Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia keturunan dari suku “Kindah”, di Jazirah Arabia Selatan. Ayahnya, Ibn Ishaq bin Shabah adalah Amir kota Kufah pada tiga Khalifah Abbasiyah : Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Harun Al-Rasyid.1

Pendidikan Al-Kindi dimulai dari belajar baca tulis, berhitung, dan menghafal Alqur’an. Memasuki masa remaja ia belajar bahasa dan sastra Arab, fikih dan ilmu kalam. Kemudian ia mencurahkan perhatiannya belajar ilmu kimia dan berbagai ilmu lainnya termasuk falsafat yang berkembang di Kufah dan mendapat dukungan dari Khalifah Al-Mamun. Untuk pengembangan ilmunya dan filsafat, ia belajar bahasa Suryani dan Yunani, karena kedua ilmu tersebut banyak menggunakan kedua bahasa dimaksud.2 Selain itu ia juga menyuruh orang untuk menerjemahkan buku-buku dari berbagai bahasa untuk dikoleksi dalam perpustakaan pribadinya ( maktabah Al-Kindiyah ). Ia bekerja di Istana selama Khalifah Al-Mamun dan Al-Muktashim. Ia wafat pada 260 H/873 M.3

Hasil karya Al-Kindi meliputi berbagai ilmu seperti Filsafat, Logika, psikologi, astronomi, kedokteran, kimia, matematika, politik, optika, dan lain-lain. Namun demikian, sejauh ini para sarjana tidak langsung menemukan buku-bukunya. Mereka hanya menjumpai risalah-risalahnya dalam terjemahan bahasa latin pada abad pertengahan. 4 Sebagai contoh Abu Ridah telah menyunting risalahnya dengan judul Risalah Al-Kindi Al-Falsafiyah.

FILSAFAT DAN FILSAFAT KETUHANAN
Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengerahui hakekat sesuatu sejarah batas kemampuan manusia. Tujuan filosof dalam teori adalah mengetahui kebenaran, dan dalam praktek adalah mengamalkan Kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur dan mulia adalah filsafat pertama, (Tuhan), yang merupakan sebab (‘’illah) bagi setiap kebenaran/realitas. Oleh karena itu filosof yang paling sempurna dan mulia harus mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui  ‘illah itu lebih mulia dari mengetahui akibat/ma’mulnya,  karena kita hanya mengetahui sesuatu dengan sempurna bila mengetahui ‘illahnya. Maka pengetahuan tentang ‘illah Pertama itu pengetahuna tentang itu tersimpul semua aspek lain dari filsafat. Dia ‘illah Pertama, Tuhan adalah paling mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib ilmiah, dan mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman.5

Sikap Al-Kindi terhadap filosof Yunani yang belum beragama Islam dan pemikiran mereka, adalah kewajiban kita untuk tidak mencela ornag yang telah memberi manfaat besar bagi kita. Seandainya para filosof itu tidak berhasil mencapai sebagian kebenaran, adalah saudara yang telah memberikan buah pikiran bagi kita, sehingga menjadi jalan dan alat untuk mengetahui banyak hal yang belum mereka capai. Para filosof juga menyadari bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebenaran yang sempurna dengan upaya sendiri. Masing-masing pihak mungkin hanya dapat memperolehnya sedikit, tetapi bila dihimpun butir-butir yang sedikit itu niscaya akan menjadi bukit.6

Selanjutnya, menurut Al-Kindi sewajarnya kita tidak usah malu menyambut dan menerima kebenaran dari mana pun asalnya, walaupun dari bangsa atau umat yang jauh berbeda dengan kita. Sesungguhnya tidak ada yang lebih utama bagi penuntut kebenaran dari pada kebenaran. Adalah tidak wajar merendahkan serta meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tak ada seorang pun yang rendah dengan sebab kebenaran, bahkan semua orang akan menjadi mulia oleh kebenaran.7

Terhadap orang yang menentang filsafat, Al-Kindi menilai bahwa mereka berarti mengingkari kebenaran, dan karena itu termasuk golongan kafir. Sesungguhnya dalam keadaan apapun orang tidak bisa menolak filsafat. Jika ia mengakui filsafat, maka ia akan memperlajarinya. Jika ia menolak filsafat, ia juga harus berfilsafat untuk membuat argumen tentang kebenaran dirinya. Argumen tersebut juga termasuk dalam filsafat, yakni ilmu tentang hakekat sesuatu.8 Bahwa disadari atau tidak hasil pemikiran ada yang bertentangan dengan ajaran Alquran.

Namun, hal itu menurut Al-Kindi tidak boleh dijadikan sebab untuk menolak filsafat, karena ia dapat diselesaikan dengan cara takwil. Perbedaan antara filsafat dan agama yang dibawa para Nabi dan Rasul bukan berasal dari dirinya sebagai hasil usahanya, tetapi anugrah dari Allah SWT yang merupakan anugrah terhadap hamba pilihan-Nya. Selain itu, ajaran agama bersifat ringkas, jelas dan mudah dipahami. Sedangkan filsafat merupakan produk usaha manusia dalam membahas, meneliti dalam waktu yang lama, dan dengan metode yang ilmiah dan filosof.9

Filsafat Ketuhanan, menurut Al-Kindi bahwa upaya manusia yang paling mulia adalah mencari kebenaran melalui filsafat, sementara filsafat yang paling mulia adalah Filsafat Pertama, yaitu usaha mnegetahui ‘illahi pertama, yakni Tuhan. Tuhan bagi AL-Kindi adalah Al-Wahid Al-Haqiqah (Esa Yang Sejati), sedang esa-esa yang lain terdapat dialam ini, adalah Al-Wahid bi Al-Majaz (Esa Yang Relatif atau Majazy). Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan.10

Bila setiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat juz’I yang disebut al-‘aniyah, dan hakikat sebagai kully yang disebut al-Mahiyah yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species, maka tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniyah atau mahiyah. Ia tidak mempunyai ‘aniyah kerena ia tidak tersusun dari materi (hayula) dan bentuk (shurah). Ia tudaj mempunyai mahiyah karena ia tidak memrupakan genus (al-jins) atau species (al-nau). Dalam membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi mengajukan tiga argumen sebagai berikut : (1) Menunjukan baharunya alam. Ia mempertanyakan apakah mungkin sesuatu dalam alam ini menjadi sebab bagi dirinya sendiri atau tidak? Menurutnya, ini pasti tidak mungkin, karena segala sesuatu dalam alam ini mesti ada sebab yang mendahuluinya. Dengan demikian, alam ini sebab ada-Nya. Hal ini berarti, alam ini ada permulaannya, baik dari segi gerak maupun zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikuti wujud jisim, tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak.

Dengan demikian, gerak juga baharu dan ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baharu seperti gerak. Jadi, jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud, dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baharu dan karena itu perlu ada Penciptanya (al-muhdits)  (2)  Bukti keragaman dan kesatuan. Keragaman yang terdapat dalam kenyataan empiris ini, tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan, dan kesatuan tidak mungkin ada tanpa adanya keragaman. Keterkaitan segala kenyataan empiris ini dalam keragaman dan kesatuan bukanlah karena kebetulan, tetapi ada sebabnya. Sebab ini bukan jenis zat kenyataan tersebut, karena jika demikian tidak ada kesudahannya. Yakni sebab-sebab yang tidak akan berakhir, dan ini tidak mungkin.

Dengan demikian ada sebab lain yang membuat keterkaitan kenyataan empiris ini dalam keragaman dan kesatuan , yakni suatu zat yang lebih tinggi dan luhur serta lebih mendahului adanya (qadim), karena sebab harus mendahului musabab, Dia-lah Allah SWT.11  (3)  Bukti adanya pengendalian ( Tadbir). Selanjutnya, Al-Kindi menjelaskan bahwa alam ewmpiris ini hanya mungkin diatur dan dikendalikan oleh Yang Maha Tahu yang tidak terlihat. Yang Maha Tahu ini tidak mungkin diketahui kecuali melalui adanya pengaturan dan pengendalian yang terdapat dalam alam ini sebagai gejala dan sebagai bukti atas kepastian adanya Pengatur dan Pengendali (Mudabbir).12


FALSAFAH JIWA
Menurut Al-Kindi, jiwa itu sederhana tidak tersusun atau basithah, mulia, sempurna dan penting. Sebtansinya (jauhar) berasal dari subtansi Tuhan, seperti sinar berasal dari matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri dan lain dari badan. Sebagai bukti ini Al-Kindi mengemukakan bahwa kenyataan jiwa menentang keinginan nafsu yang berorientasi bagi kepentingan badan. Jika perlu sesuatu waktu marah mendorong  manusia untuk berbuat sesuatu, maka jiwa akan melarang dan mengontrolnya, seperti penunggang kuda yang hendak menerjang terjang. Jika nafsu syahwat muncul kepermukaan, maka jika akan berpikir bahwa ajakan syahwat itu salah dan membawa pada keerendahan, pada saat itu jiwa akan menentang dan melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa itu lain dari nafsu yang dimiliki badan.13

Selanjutnya, menurut Al-Kindi bahwa jikwa manusia itu memmpunyai tiga daya, yaitu daya berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah), daya marah (al-quwwah al-ghadhabiyah), dan daya syahwat *al-quwwah al-syahwaniyah). Daya berpikir itu disebut akal. Akal terdiri dati tiga tingkat : (1)  Akal yang masih bersifat potensial (al-quwwah); (2) Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi akatual (Al-Fi’I); (3) Dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany), akal kedua. 14

Akal yang bersifat potensial tidak akan menjadi actual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar, yang mempunyai wujud tersendiri di luar jiwa manusia. Akal tersebut adalah akal yang selamanya aktualis (al-‘aql al-ladzi bi al-fi’I abadan), dan ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1.    Ia merupakan Akal Pertama
2.    Ia selamanya dalam aktualitas
3.    Ia merupakan species dan genus
4.    Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
5.    Ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya. 15

Menurut Al-Kindi, jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa tidak hancur karena subtansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia tidak boleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Baru setelah ia berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan, jiwa pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam a- haq, al-‘alam al-aql) didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan pleh jiwa yang suci.

Jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan langsung masuk ke Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu tertentu untuk membersihkan diri. Mula-mula jiwa bermukim di Bulan, kemudian di Mercuri dan terus ke Falak yang lebih tinggi lagi guna pembersihannya setahap demi setahap. Setelah jiwa benar-benar bersih, jiwa itu baru memasuki Alam Kebenaran atau Alam Kekal.16

CATATAN AKHIR
1M.M Syarif (Ed), Para Filosof Muslim, terjemahan. (Bandung : Mizan, 1985), h.11
2George N, Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Terj. Kasidjo Djoyosuwarno, (Bandung, Pustaka, 1983), h.1-2
3 Muhammad Al-Bahy, Al-Janib Al-Ilahimin Al-Fikr Al-Islamy, (Kairo: Dar Al-Kitab Al-Araby, 1967), h. 295
4 M.M Syarif (Ed), op.cit, h.5-6
5Karnal Al-Yazijy, Al-Nushus Al-Falsafiyah Al-Muyassarah, (Beirut : Dar Al-‘ilm li al-Malayin, 1963), h.67-68
6 Ibid, h.68-69
7 Ibid, h.70
8 Ibid.
9 Ibid, h.74
10Aly Syami Al-Nasysyar dan Ali Abu Rayan, Qira’at Al-Falsafah, (Kairo : 1967), h. 328
11Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h.1617
12Ibid
13Kamal Al-Yazijy, Op.cit, h.76-77
14Aly Syami Al-Nasysyar, Op.cit, h.359
15Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h.19-20
16Ibid, h.18


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ketuhanan dan jiwa al-Kindi"

Posting Komentar