MAKALAH KEABSAHAN DAN KETIDAKABSAHAN



A.   Latar Belakang
Anak manusia tidak dapat bertahan hidup, jika tidak ada orang tua yang disosialisir untuk memeliharanya. Hal ini merupakan hubungan utama antara ketahanan biologis-organisme itu sendiri, dan system sosial keluarga, antara ketahanan biologis jenis manusia, dan penerusan kebudayaan dari satu generasi kepada yang berikutnya. Kebudayaan itu tidak dapat diteruskan kecuali dapat mengatasi persoalan ketahanan biologisme.
Seperti yang sudah dikatakan pada Bab Dasar Biologis Keluarga, hubungan penting dalam hal saling ketergantungan ini ialah bahwa sang anak bukan saja diajar untuk ingin membesarkan anak tetapi juga pada waktunya mereka itu membesarkan anak mereka agar mau memelihara anak mereka. Dengan jalan demikian kesinambungan biologis terjamin, lewat pola budaya yang diteruskan dalam proses sosialisasi.

B.   Rumusan Masalah
A.    Fungsi Utama Sosialisasi
B.     Keabsahan dan Kewajiban Peran
C.     Norma-norma sosial yang menentukan jenis-jenis ketidakabsahan
D.    Jenis-jenis penyimpangan
E.     Pengawasan atas ketidakabsahan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Fungsi Utama Sosialisasi
Control sosial mengenai pemeliharaan anak-anak yang juga berarti atas unit sosial yang bertanggung jawab atas hal itu telah menjadi lebih penting, tepatnya sedemikian jauh sehingga “makhluk” manusia dalam evolusinya lebih tergantung pada kebudayaan dan bukan atas naluri atau insting. Dalam artian bahwa masyarakat dan kebudayaannya menjadi tergantung pada efektifitas sosialisasi yaitu sejauh mana sang anak mempelajari nilai-nilai, sikap-sikap, dan tingkah laku masyarakat dan keluarganya. Oleh karena itu, masyarakat harus membentuk atau menuntun unit yang meneruskan nilai-nilai pada generasi berikutnya.
Telah menjadi jelas, bahwa meningkatnya ketergantungan atas proses sosialisasi menuntut agar masyarakat manusia lebih banyak menguasai persoalan pemilihan jodoh dan juga kelakuan pasangan itu. Salah satu pengawasan itu adalah penolakan akan hubungan seks sepintas yang menghasilkan anak tanpa keluarga yang bertanggung jawab atasnya. Meningkatnya perhatian pada masalah siapa yang boleh menikah dengan siapa, dan isi kebudayaan man yang bisa diteruskan pada generasi berikutnya, bertambah ketika kebebasan dan kompleksitas pola-pola kebudayaan semakin maju. Dengan kata lain, manusia akan lebih bergantung kepada kebudayaan, sehingga menjadi lebih berarti dalam hubungannya dengan budaya yang lainnya.
Ketergantungan manusia yang bertambah terhadap kebudayaan memaksanya untuk membentuk peraturan-peraturan pengabsahan, yaitu peraturan yang menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin dan memelihara seorang anggota penuh suatu masyarakat. Peraturan-peraturan ini menentukan penempatan sosial si anak.
Demikianlah keabsahan dan karena itu juga ketidakabsahan merupakan ciri dasar suatu keluarga manusia, yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompok makhluk lainnya, dan merupakan konsep inti untuk mengerti tingkah laku keluarga.[1]


B.     Keabsahan dan Kewajiban Peran
Dengan menentukan penempatan sosial seorang anak, pengaturan wewenang membantu menentukan kewajiban peran orang dewasa terhadap sang anak. Anak merupakan symbol berbagai macam hubungan peran yang penting diantara orang-orang dewasa. Menunjukkan adanya kemesraan antara orang tua, dan keberadaannya terus menerus mengadakan tuntutan kepada berbagai orang-orang dewasa. Bagi anak yang orang tuanya tidak menikah akan memberatkan kedudukan si anak, dan pengalaman sosialisasinya tentu tidak lengkap. Hal inilah yang ingin dicegah oleh peraturan yang menentang ketidaksahan
Pemusatan terhadap ketidaksahan, tidak menunjukkan adanya pertimbangan nilai dari pihak analis sosial tetapi diperlukan oleh karena kepentingannya bagi bentuk dan arti struktur keluarga. Masyarakat harus menaruh perhatia pada penempatan sosial jika tidak ingin membahayakan kesinambungannya.
Pentingnya hal tersebut telah ditekankan lebih dari satu generasi yang lalu oleh Bronislaw Malinowsky yang mengemukakan suatu hokum sosial, prinsip yang menetapkan bahwa janganlah anak itu dilahirkan ke dunia tanpa seorang lelaki dan seorang yang bisa mengemban tugas sebagai ayanh yang bertanggung jawab. Yaitu, setiap masyarakat mempunyai peraturan yang menetapkan bahwa setiap anak harus mempunyai bapak. Penelitian singkat mengenai hal ini lebih jelas menunjukkan tujuan utama hokum-hukum sosial untuk pendirian suatu keluarga yaitu hokum pengesahan.
Berbagai peraturan yang menentukan siapa dapat menikah dengan siapa menetukan jenis kelahiran mana yang sah atau yang tidak sah. Oleh karena itu, Kingsley Davis mengatakan bahwa salah satu penyebab ketidaksahan adalah perkawinan.[2]

C.    Norma-Norma Sosial yang Menentukan Jenis-Jenis Ketidakabsahan
Davis juga menguraikan bentuk-bentuk utama keidakabsahan yaitu, lima peraturan kelahiran, yang bila dilanggar menjadikan si anak tidak sah;
1.      Bahwa si anak harus lahir setelah adanya perkawinan.
2.      Melarang adanya hubungan perzinahan.
3.      Hokum incest mungkin dilanggar, dimana seorang anak yang idak sah dilahirkan dari hubungan ibu dengan anak laki-lakinya, ayah dengan anak perempuannya, atau kakak beradik.
4.      Larangan yang berlaku sangat terbatas, melarang adanya kelahiran oleh mereka yang harus hidup bertarak, seperti umpamanya para rahib.
Perkawinan hanya dapat memecahkan persoalan ketidaksahan dati type Davis yang pertama, jika dua orang yang tidak menikah menhasilkan anak. Dalam bentuk-bentuk lainnya, kedudukan pribadi-pribadi itu melarang adanya perkawinan sebagai pemecahan. Kenyataan-kenyataan yang menunjukkan bahwa pada langkah berikutnya dalam menganalisa hubungan keluarga dengan masyarakat kita boleh memperhatikan type ketidaksahan yang lebih luas dan derajat celaan masyarakat.
Dari type ketidaksahan yang lebih luas tersebut sekalipun mempunyai arti yang berlainan di Caribbea, dimana banyak penduduknya hidup bersama dlam hubungan diluar perkawinan dan mempunyai anak sebelum menikah. Contoh itu menunjukkan bahwa meskipun ketidaksahan dapat di uraikan secara hokum dan formal, dalam kenyataannya jenis yang bermacam-macam membentuk suatu pola yang berlainan dibawah pengaruh sosial yang bermacam-macam, denagn akibat yang berbeda-beda bagi struktur sosial juga bagi pribadi yang bersangkutan.[3]

D.    Jenis-jenis Penyimpangan
Jenis-jenis penyimpangan diantaranya :
1.      Hidup bersama atas dasar suka sma suka
2.      Pergundikan dimana hal itu telah melembaga (cina kuno dan jepang).
3.      Ketidaksahan kelas rendahan
4.      Hubungan seorang bangsawan denagn gundik pada zaman pra industry masyarakat Barat
5.      Melahirkan anak pada masa tunangan.
6.      Hubungan sepintas lalu, yang diikuti perkawinan.
7.      Perzinahan, sang laki-laki sudah menikah.
8.      Kehidupan bersama seorang yang bertarak dengaan orang lain yang juga hidup bertarak atau yang tidak.
9.      Perzinahan, sang wanita sudah menikah.
10.  Perzinahan, kedua-duanya telah menikah.
11.  Kehidupan bersama seorang wanita kasta tinggi dengan lelaki kasta rendah.
12.  Incest, saudara laki-laki dengan saudara perempuan.
13.  Incest, bapak dengan anak perempuan.
14.  Incest, ibu dengan anak laki-laki.
Daftar tersebut memberikan dasar bagi langkah-langkah selanjutnya dalam analisa penyimpangan yaitu, suatu kelahiran dapat di golongkan sah atau tidak, tetapi secara sosial ada banyak tingkatan atau derajat penyimpangan dari penerimaan penuh secara sosial dan si anak dan ibunya biasanya tidak dibunuh, oleh karena itu harus diberi tempat, dibawah aib yang bermacam-macam sifatnya.
Cercaan keras tentu ditujukan pada ketikdakabsahan karena incest. Pertama, hal itu melanggar pantangan incest yang secara umum terdapat disemua masyarakat yang melarang adanya hubungan seks antara keluarga inti kecuali antara suami istri.
Anak hasil hubungan incest menimbulkan persoalan khusus dalam soal penempatan sosial karena kedudukannya demikian kacau, sama halnya dengan orang tuanya. Kekacauan yang serupa juga timbul jika nak itu merupan keturunan dari hubungan saudara perempuan dengan saudara laki-lakinya, atau hubungan ibu dengan anak laki-lakinya. Sudah jelassuatu perkawinan tidak akan memecahkan persoalan ini, malah lebih memperburuk keadaan. Perkawinan yang sedemikian itu dilarang dan bagaimana juga tidak akan menyelesaikan keserawutan antara anggota keluarga.
Jika yang merupakan unsure penting dalam pengertian ketidakabsahan ialah penempatan sang anak, maka dapat dimengerti bahwa ketidakabsahan dalam kasta atau kelas rendah tidak terlalu merisaukan masyarakat dari pada ketidakabsahan pada tingkat sosial lainnya. Kelahiran tidak sah lebih memalukan pada tingkatan sosial tinggi dan menengah, sehingga diusahakan menutupi hal itu bila terjadi.[4]

E.     Pengawasan Atas Ketidakabsahan
Seperti halnya dengan perilaku menyimpang lainnya, kebanyakan orang tidak melakukan penyelewengan bukan hanya karena ketakutan akan akibatnya, tetapi karena : 1. Penguasaan diri yang membuat orang merasa slah secara moral untuk mengambil resiko itu. 2. Control sosial yang memperingatkan perorangan sebelum terjadi keintiman.
Pada masa lalu, kaum menengah dan atas di Barat menggunakan cara duenna atau pengiring untuk menghindarkan semua laki-laki dewasa untuk berada sendirian bersama seorang gadis yang belum menikah tetapi sudah boleh kawin. Karena pusat perhatian lebih kepada keterlanjuran sebelum menikah daripada kepada perzinahan, wanita yang telah menikah diberikan lebih banyak kebebasan, sedangkan wanita yang belum menikah akan selalu dalam pengawasan.
Pada banyak masyarakat primitip, bersetubuh sebelum pernikahan diperbolehkan. Mengingat akan resikonya yang demikian tinggi, beberapa peraturan berusaha menekan tingkat penyimpangan. Yang pertama, secara umum masa haid pertama biasanya lebih lambat di masyarakat lain di bandingkan dengan masyarakat Barat. Kedua, bukti terakhir menunjukkan bahwa antara 1 sampai 3 tahun setelah haid, setiap wanita secara relative masih belum subur, sehingga pada sebagian masyarakat persetubuhan pada waktu remaja hanya menimbulkan sedikit kemungkinan kehamilan. Yang terakhir perkawinan masa dini dan lebih dini lagi jika si gadis hamil. Karena itu angka ketidakabsahan cenderung rendah.
Pada suatu daerah di Perancis penelitian perkawinan dan kelahiran pertama (dengan menggunakan catatan gereja) menemukan bahwa pada akhir abad ke 18 kira-kira 30% perkawinan para pekerja dan tukang didahului oleh kehamilan.  Meskipun pendapat awam cenderung memperkirakan bahwa moral seks menurun dan bahwa orang di pedesaan lebih bermoral dari pada orang kota, buktinya tidak jelas. Moral pedesaan yang dianggap tinggi mungkin hanya mitos yang tersebar luas.
Pola yang snagt berbeda terdapat di Dunia Baru, dari bagian selatan AS sampai ujung selatan Amerika termasuk Karibia. Pola ini menunjukkan betapa dekat tali ikatan ketidakabsahan dengan integrasi masyarakat.
Bebrapa propinsi tertentu di beberapa Negara Dunia Baru mempunyai angka ketidakabsahan 80%  atau lebih. Tetapi angka-angka ketidaksahan secara umum memang tinggi yaitu, ratusan system kekeluargaan dan masyarakat dai mana nenek moyang orang-orang itu berasal demikian aneka ragamnya sehingga mereka tidak mungkin mempunyai cirri modern yang khas.
Masyarak bukan perorangan atau keluarga yang dapat menyesuaikan diri dengan norma yang sah dengan memberikan atau menahan nama baik dan kehormatan. Perorangan dapat saja ataupun tidak mencoba ketidaksahan, tetapi tidak akan banyak kehilangan kehormataan jika masyarakat memberikan nilai yang sama pada perkawinan maupun tidak. Kecualai jika terintegrasi secara budaya dan sosial, masyarakat tidak dapat secara mudah menghukum mereka yang menyeleweng dan sesungguhnya pun tidak terlalu peduli mengenai penyelewengan itu.
Penyesuaian yang tinggi oleh perorangan atau keluarga terhadap norma yang telah berlaku tergantung baik pada keterikatan masyarakat terhadap nilai itu sendiri, dan kepada kekuatan control sosialnya. Keadaan di Dunia Baru mulai dari daerah Negro di Amerika Selatan sampai ke Tierra del Fuego menimbulkan adanya angka ketidaksahan yang tinggi, karena keadaannya itu melemahkan baik norma-norma dan control sosialnya.[5]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwasannya ada beberapa peraturan yang bila di langgar anak tersebut akan menjadi anak tidak sah yaitu:
1.      Bahwa si anak harus lahir setelah adanya perkawinan.
2.      Melarang adanya hubungan perzinahan.
3.      Hokum incest mungkin dilanggar, dimana seorang anak yang tidak sah dilahirkan dari hubungan ibu dengan anak laki-lakinya, ayah dengan anak perempuannya, atau kakak beradik.
4.      Larangan yang berlaku sangat terbatas, melarang adanya kelahiran oleh mereka yang harus hidup bertarak, seperti umpamanya para rahib.


DAFTAR PUSTAKA
            Goode, William J, Sosiologi Keluarga, PT. Bumi Aksara: Jakarta. 1985



[1]William J. Goode. Sosiologi Keluarga,hal 39-41, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985
[2]Ibid, William J. Goode. Sosiologi Keluarga,hal 41-44.

[3]Ibid, William J. Goode. Sosiologi Keluarga,hal 44-47.
[4]Ibid, William J. Goode. Sosiologi Keluarga,hal 48-53
[5]Ibid, William J. Goode. Sosiologi Keluarga,hal 53-62

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAKALAH KEABSAHAN DAN KETIDAKABSAHAN"

Posting Komentar